
Ketika perjuangan memperoleh beasiswa ke luar negeri sudah dilalui dengan pertarungan sengit, saya kira tidak ada lagi yang perlu dirisaukan selain mempersiapkan diri untuk belajar yang rajin dan serius. Itu yang ada di benak saya saat dinyatakan lulus menerima beasiswa Internasional Ford Fellowship (IFP) untuk studi master (S2). Namun, ternyata tidak demikian. Lulus beasiswa tidak secara langsung lulus masuk ke perguruan tinggi. Oleh sebab itu, saya harus bertarung lagi untuk melamar ke perguruan tinggi di luar negeri. Waduh.. ! Perjunagan untuk memperoleh LoA itu tidak mudah, apalagi jika kita memasang target universitas yang memiliki nama besar seperti Oxford, Cambridge, LSE, Birmingham, SOAS, Warwick, dan lain sebagainya di negara lain. Universitas tidak mengenal kompromi dengan strandar yang mereka tetapkan (standar bahasa dan GPA). Jika tidak memenuhi standar berarti tidak akan bisa diterima sebagai mahasiswa. Meskipun saya juga berhasil masuk ke University of Birmingham, itu adalah perjuangan yang melelahkan. Dari training di Indonesia, untuk memenuhi syarat mendapatkan visa, lalu dilajutkan trainingnya di Inggris. Beruntung, beasiswa yang diberikan juga mencakup biaya training bahasa di luar negeri. Perjuangan waktu S2 itu akhirnya memberi saya pelajaran untuk mempersiapkan LoA terlebih dahulu sebelum melamar beasiswa S3.
Ketika hendak melamar beasiswa doktor (s3) luar negeri, saat ini, lembaga penyedia beasiswa umunya mensyaratkan pelamar telah memiliki Letter of Acceptance (LoA) dari universitas di luar negeri. LoA yang dimaksudkan adalah Unconditional LoA bukan Conditional LoA. Unconditional maksudnya, kita sudah diterima tanpa syarat, sedangkan Conditional berarti ada persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum masuk belajar di perguruan tinggi. Umumnya, Conditional LoA bagi mahassiwa internasional diberikan karena masalah standar bahasa yang harus dipenuhi, belum ada surat sponsor atau surat referensi. LoA diberikan dalam jangka waktu tertentu. Untuk S2, masa berlaku LoA umumnya dua tahun dan S3 satu tahun. Jika dalam kurun waktu tersebut kita tidak dapat memenuhi persyaratan yang diberikan, maka LoA yang diberikan akan dibatalkan. Jika menginginkannya lagi, maka harus mengajukan lamaran baru.
Ketika saya hendak melamar beasiswa S3, saya memulainya dengan mencari LoA dari universitas di luar negeri satu tahun sebelumnya. Sebab memperoleh LoA butuh waktu yang cukup lama. Saya memperoleh LoA dari beberapa universitas di Australia dan juga di Inggris, ada yang telah memberikan LoA Unconditional ada pula yang memberikan LoA conditional alias ada persyaratan yang harus saya penuhi. Tentu ada banyak trik untuk mendapakan LoA dari universitas. Nah, tentu saya juga punya trik untuk itu, dan kali ini akan saya bagikan cerita pengalaman saya memperoleh LoA dari beberapa universitas di luar negeri.
Memiliki Sertifikat Bahasa
Tentu, saya sudah pastikan lebih awal bahwa sertifikat bahasa Inggris saya memenuhi standar untuk melamar ke perguruan tinggi maupun melamar beasiswa, dan masih berlaku. Bagi anda yang belum, memenuhi syarat minimum maka diusahakan, dengan belajar sendiri, memninta bantuan teman atau jika punya cukup uang, ikutilah bimbingan di tempat kursus setelah itu mengikuti test IELTS atau TOEFL. Untuk universitas di Amerika, Eropa dan Australia, menerima sertifikat IELTS, TOEFL iBT /TOEFL ITP, sedangkan negera yang lain seperti negera-negara di Timur Tengah menysratkan sertifikat Bahasa Arab. Untuk IELTS rata-rata menerima skor minimum 6.5, tetapi untuk safety anda perlu 7.0 dan TOEFL ITP 550. Di Indonesia, penyedia beasiswa bahkan ada yang menerima TOEFL ITP 450 dan IELTS 5.5, dan ketika anda dinyatakan lulus beasiswa anda harus menaikan skor itu untuk memenuhi persyaratan masuk ke perguruan tinggi di luar negeri. Bagi saya, itu gampang-gampang susah, seperti telah saya jelaskan secara singkat pada bagian awal tulisan ini. Terkadang bisa dilakukan, jika anda pembelajar bahasa yang baik, namun terkadang sulit. Anda juga bisa menggunakan skor itu, 5.5 atau 500 TOFL ITP untuk melamar ke perguruan tinggi di luar negeri, meskipun nantinya jika berhasil diterima, anda akan menerima Conditional LoA, dimana salah satau syarat yang harus anda penuhi adalah standar Bahasa yang diinginkan.
Saya kebetulan masih punya sertifikat IELTS yang cukup dan masih berlaku, sehingga saya langsung saja melamar PhD di beberapa perguruan tinggi di luar negeri. Setiap program dan setiap universitas menetapkan standar Bahasa yang berbeda-beda. Kebetulan dua universitas di Australia yang saya lamar mensyaratkan IELTS 6.5, sedangkan salah satu dari dua universitas di Inggris memasang standar 7.0. Saya pikir, saya akan menggunakan sertifikat yang ada untuk melamar beasiswa juga. Jika berhasil maka, saya bisa memperbaiki skor IELTS melalui training bahasa yang diberikan melalui beasiswa itu. Jika anda sudah punya seritifikat bahasa Inggris yang bisa memenuhi persyaratan melamar, maka selanjutnya adalah anda harus menulis proposal penelitian.
Membuat Proposal Penelitian
Saya akan melamar untuk Higher Research Degree oleh sebab itu, saya perlu mempersiapkan rencana proyek penelitian saya sebaik mungkin. Proposal ini akan menentukan apakah ada professor yang bersedia menjadi supervisor atau tidak. Bagi saya, isu yang akan diungkap dalam penelitian, harus didesain semenarik mungkin dengan fakta-fakta terbaru dan teori-teori terbaru. Saya paham bahwa ini adalah jualan saya, gagal mempresentasikannya dalam proposal, maka bisa gagal menemukan calon supervisor. Proposal yang saya buat saya gunakan referensi-referensi terbaru (jurnal, buku), dengan teori yang tepat untuk membedah isu penelitian, serta pilihan metode penelitian yang tepat, sehingga calon supervisor tahu kalau saya cukup terapdate dan kompetible ng dalam bidang penelitian yang saya ajukan. Perlu diingat bahwa gunakanlah teori dan fakta-fakta seperlunya. Jangan sampai terkesan, berlebihan.

Saya memulai dengan mengumpulkan berbagai referensi, membacanya dan mendasain proposalnya sebanyak 7 halaman. Selanjutnya saya padatkan menjadi 5 halaman termasuk halaman referensi sebab saya kira banyak universitas menginginkan demikian. Jadi, tulislah proposal sesingkat mungkin antara 3- 5 halaman A4 sebab Para professor itu orang-orang yang super sibuk, mereka tidak punya banyak waktu untuk membaca proposal yang panjang. Jika anda sudah memiliki pilhan universitas maka, anda bisa mengunjungi website universitas dan memilihat format proposal penelitian untuk studi doktoral, ikuti format yang disediakan. Jika proposal anda sudah kelar, maka coba diskusikan dengan kolega anda. Ini penting untuk memdapatkan masukan terkait dengan isu penelitian, siapa tahu perlu direvisi sebelum dikirimkan ke calon supervisor.
Pengalaman saya, saya hanya menulis proposal 5 halaman (termasuk halaman referensi 2 halaman), jadi sesungguhnya isi proposal saya cuma 3 halaman. Karena saya belum tahu universitas tujuan saya, maka saya tidak mengikuti format tertentu dari suatu universitas. Ketika saya mengirimkannya ke professor incaran saya, tidak ada soal, begitu juga dengan bagian admission. Sehinggga saya berkesimpulan bahwa format proposal itu tidak ada soal, namun proposalnya harus singkat, padat dan jelas.
Proposal penelitian harus menarik sebab ini jualan anda kepada calon supervisor . Proposal harus singkat, padat dan jelas, antara 3-5 halaman Gunakan referensi penelitian terbaru, teori yang tepat serta pilihan metode yang cocok. |
Kak izin tanya, jadi kalau kita daftar terus diterima mendapatkan LoA Unconditional, apakah bisa berkuliah 2 tahun kemudian? Semisal mau cari beasiswa seperti LPDP?
Hai Juan, masa berlaku LoA bebeda-beda di setiap universitas. Namun umumnya untuk S2 bisa berlaku selama dua tahun. Itu artinya, jika telah mendapatkan LoA, ada waktu sekitar dua tahun untuk melamar beasiswa LPDP atau yang lainnya.
Halo, terima kasih atas informasi yang berharga ini. Saya mau bertanya, setelah mendapatkan loa, kemudian kita blm mendaftar ulang karena masih menunggu beasiswa, apakah kita harus mengajukan surat defer?