Film The Man Called Ahok telah dinantikan oleh banyak orang di bioskop sejak munculnya iklan trailer film ini di youtube hingga media televisi . Banyak orang yang penasaran untuk menyaksikan sepak terjang Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama, mantan gubernur DKI Jakarta yang kini sedang dipenjara karena kasus penodaan agama. Film itu kini telah dtonton lebih dari satu juta orang. Itu jumlah yang fantastis, jauh dari film-film yang tayang bersamaan  di bioskop Tanah Air seperi Hanum dan Rangga.

Saya sendiri bukan pendukungnya, namun saya cukup mengaggumi gebrakan-gebrakannya sang mantan gubernur DKI itu dalam melawan praktek-praktek korupsi pada pemerintahan DKI Jakarta. Sebelumnya, saya tidak banyak mengetahui siapa sesunguhnya Ahok dan bagaimana sehingga Ia yang jauh dari Belitung Timur itu bisa menjadi gubernur di Ibukota Jakarta dan memiliki banyak suppoter di sana.  Mungkin film ada adalah jawaban bagi saya dan semua orang yang penasaran dengan latar belakang mantan gubernur ibu kota itu.

Sejak hari pertama film itu tayang di bioskop, saya ingin sekali ke bisokop untuk menyaksikannya, namun baru memiliki kesempatan sekitar seminggu kemudian yakni pada tanggal 17 November 2018. Saya menuju ke bioskop Cinema 21 di lantai lima Blok M Square, Jakarta Selatan. Sepintas saya mengamati sekelilingi tempat duduk di bisokop, nampak sangat banyak tempat duduk yang kosong. Itu sudah terlihat saat saya membeli tiket online dengan aplikasi khusus yang dimiliknya. Saya jadi bertanya, tanya, apakah memang film ini kurang banyak peminat? Atau mungkin karena waktu yang kurang tepat (bukan weekend), mungkin karena kebanyakan orang telah menonontonya ketika awal dirilis di bisokop?

Meskipun demikian, ketika saya telah duduk pada seat di dalam gedung biskop, seorang berambut uban ditemani beberapa anak muda dan dua orang dewasa (kemungkinan cucu-cucunya dan anak menantunya), berjalan dengan perlahan dan sangat hati-hati mendaki tangga ke tempat duduk persis di depan saya. Melihat sosok tua renta itu, saya kemudian berasumsi bahwa film ini sesungguhnya sangat dinantikan oleh banyak orang. Sejak hari pertama tayang, di Facebook dan Whatsapp saya, banyak sekali orang yang memposting gambar nonton bareng  film biopic ini di dibioskop.

Kita ini Orang Indonesia atau Orang China?

Tidak diragukan lagi bahwa film biografi ini memberikan banyak pelajaran karakter dan moral kepada Indonesia, mungkin lebih khusus kepada para generasi muda dalam berkehidupan kebangsaan. Salah satu isu yang selalu dimainkan dalam politik kuno saat ini adalah soal soal keturunan China dan pribumi. Hal itulah yang selalu dipertanyakan Ahok dan sudara-saudaranya ketika, Ia hendak mengajukan diri menjadi calon Bupati di Belitung Timur. Ahok juga pernah menanyakan hal serupa kepada ayahnya. Ayahnya hanya menjawab “ Jangan pernah berhenti mencintai negeri ini”. Jawaban yang sangat filosofis,  sangat sederhana, namun memiliki makna yang dalam.  

Kecibtaan ayahnya kepada negeri ini, terlukis dalam kehidupannya yang menembus batas suku, agama dan golongan.  Ia menolong siapapun tanpa memandang latar belakang, bahkan Ia rela utang hanya untuk membantu orang lain yang memerlukan bantuan. Ia juga sangat mencintai rakyat yang di sekitarnya dan hidup bersamanya, sehingga di tengah perusahan yang hampir bangkrut, Ia harus menentang keputusan Ahok yang merumahkan karyawan dengan alasan menyelamatkan perusahan. Ia kembali memperkerjakan para buruh tambang itu dengan alasan agar mereka bisa menafkahi keluarga mereka.  Dari situlah karekater sang ayah berpindah kedada Ahok. Tidak hanya itu, pelajaran-pelajaran lain seperti kejujuran dalam bekerja, tidak melakukan mark up proyek yang merugikan bangsa patutu menjadi pelejaran dalam pembangunan karakter bangsa.

Tak ada Kelembutan dan Romantisme

Meskipun demikian, dari sisi entertainment film ini menurut pandangan saya sangat monoton. Kehidupan Ahok dalam keluarganya di Belitung penuh dengan ketegangan, sangat keras dengan didikan dalam keluarga. Sejak kecil Ahok yang pendiam itu nampak tegang dalam kehidupanya. Kecerian dan kebahagian masa kecilnya nampak terenggut dalam kerasnya tantangan yang dihadapi keluarganya. Hanya ada sepotong kisah bersama beberapa orang sahabanya ketika di pantai dan mereka berangan-angan tentang masa depan mereka. Kerasnya kehidupan dan didikan sang ayah dalam film itu, tanpa dibarengi dengan kisah cinta dan kasih dalam kehiudpan, menjadikan cerita itu monoton. Padahal, dalam kerasnya tantangan dan didikan keluarga, pastinya ada sisi-sisi lembut yang menaburi seluk-beluk kehidupan mereka. Film itu tak sedikitpun, memberi rasa kelembutan sang ayah kepada anak-anaknya yang tentu sangat Ia kasihi. Tak ada senyum sumringah dalam kehidupan mereka, meskipun bisa saja kita pahami bahwa rasa cinta dan kasih sayang sang ayah kepada kelurga, termasuk Ahok, bisa dalam bentuk yang berbeda, misalnya melalui pelajaran-pelajaran karakter dan moral yang diberikan oleh sang ayah untuk masa depan mereka.

Selain kisah kasih sang ayah yang tak muncul, kisah tentang sekolahnya Ahok di SD, SMP, SMA bahkan hingga masa remajanya di Perguruan tinggi tak ada. Tak ada yang tahu bagaimana Ia di sekolah, bagimana tentang proses perkuliaahannya, Ia berkawan dengan siapa, bertemu siapa dan bagaimana? Padahal di sana akan ada banyak cerita terlukis, mungkin termasuk kisah cinta dengan sang pujaan hatinya.  Oh iya, film itu juga tidak memberi gambaran sedikitpun tentang kisah cinta Ahok dan Veronica. Padahal jika saja kisah itu dimaskukan maka, akan ada nuansa kelembutan dan kasih yang  melintas kehidupan yang penuh tantangan itu, sehingga  merebut emosi penonoton. Selama 102 menit, saya hanya menyaksikan didikan tentang kehidupan yang keras. Oleh sebab itu, saya mengatakan film ini, dari sisi entertainment kurang menarik, meskipun saya sangat kagum dengan ide-ide serta pelajaran-pelajaran moral yang diberikan.

Ekspetasi Penonton Terlalu Jauh

Ketika menjadi pengusaha tambang timah, Ahok yang keras kepala tidak mau mengikuti sistem pungutan-pungutan yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat pemerintah, sebagaimana dialami juga oleh ayahnya dulu.  Ia lalu memutuskan untuk terjun ke politik dengan cita-cita bisa merubah sistem yang telah rusak itu. Ia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan berhasil terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur.   Di DPRD, Ahok ternyata, hanya bertarung sendirian melawan tirani yang telah lama terbangun dengan kokoh. Jelas, Ia tak akan didukung oleh sistim yang ada, sehingga tak mungkin memenuhi ambisinya. Ahok kemudian memutuskan untuk mencalonkan diri menjadi bupati. Atas bantuan kawan-kawan perkerja tambang dan budi baik sang ayah kepada masyarakat, Ahok terpilih sebagai bupati Belitung Timur.

Ketika telah menjadi bupati, saya menantikan gebrakan apa yang sesungguhnya hendak dilakukan oleh Sang Bupati. Saya ingin melihat bagimana Ia melawan para koruptor yang telah lama merasuki sistem pemerintahan itu. Bagaimana ia melawan sistem bobrok yang telah menyandera perusahan timah ayahnya dengan pungutan-pungutan liar itu. Bagaimana Ia memperlakukan para oknum pejabat pemerintah pemeras yang wajah-wajahya  itu masih terlukis jelas di benaknya? Eposide ini yang sesungguhnya saya nantikan karena karakter itulah yang masih kental tertanam dibenak saya tentang Ahok.

Namun, saya harus manahan rasa kecewa, karena ekspetasi saya terlalu jauh tentang itu. Terkait dengan oknum-oknum itu, film itu hanya menampilkan sebuah surat yang nampaknya seperti sebuah Surat Keputusan (SK) kepada salah satu pejabat, yang dulunya menantang ayahnya,  juga menantang Ahok sendiri terkait pungutan-pungutan liar yang dilakukan olehnya terhadap perusahan mereka. Namun, surat itu juga tidak jelas apa sesungghuhnya isinya dan apa yang dilakukan oleh Sang Bupati. Selain itu, saya juga ingin menyaksikan apakah Ia akan berhasil memenjarakan para koruptor dan bagaimana ia melakukannya, sehingga menghantarkannya mendampingi Jokowi sebagai wakil gubernur DKI Jakarta, lalu kemudian menjadi gubernur DKI Jakarta, setelah Jokowi terpilih menjadi presiden. Saya sangat mengharapkan bagian itu  muncul dalam film biografi itu. Akan tetapi, ekspetasi itu tidak nampak. Bahkan tiba-tiba saja, Ahok sudah menjadi gubernur DKI Jakarta, lalu muncul tulisan Ia dijembloskkan ke penjara karena kasus penodaan agama sebagai ending dari film ini. Bagi saya, itu adalah ending yang jelek dalam film biografi yang mengangkat tokoh-tokoh revolusioner. Mungkin itu tidak tersaji dalam naskah atau buku yang ditulis oleh Rudi Valinka  namun dari sisi entertainmen dan menjaga spirit revolusi, ending film itu sangat buruk. Saya berharap film ini bisa daur ulang dengan versi yang lebih baik.