
Hari sudah hampir senja. Di pasar ikan dekat Jembatan Airtiba warga nampak sibuk berbelanja ikan dan sayur untuk makan malam mereka. Persis di tepi Jembatan Airtiba sebelah laut, tepatnya jembatan lama yang biasanya digunakan warga untuk menggelar jualan mereka, saya melihat beberapa warga sendang menjual buah durian segar. Buah-buah itu satu per satu diangkut perlahan-lahan ke atas jembatan dari perahu yang bersandar di tepi jembatan. Di sini, warga biasanya memungut durian yang jatuh dari pohonnya pada pagi hari atau sehari sebelumnya dan mengatarkannya ke kota untuk dijual. Bagi saya, buah durian yang mereka jual sudah sangat murah, jika saya bandingkan dengan kota Jayapura, tempat di mana saya hanya bisa menahan rasa di dada ketika melihat durian dijajal di tepi jalan. Di Jayapura durian dengan ukuran kecil satu buah dijual dengan harga 150.000- 200.000, sedangkan di sini (Kaimana) enam buah ukuran kecil dijual hanya dengan harga 100.000. Tentu, selain harga yang sangat murah, kualitas isinya juga dijamin karena durian yang dijual adalah durian yang runtuh dari pohonnya sendiri, bukan dipetik dan disimpan hingga matang. Saya membeli enam buah seharga seratus ribu, memasukannya di karung dan diangkut di motor. Tak jauh dari jembatan Airtiba, ada tempat bersantai, berupa tembok talut dengan pemandangan laut yang tenang. Lokasi ini bisaya dijadikan tempat nongkrong warga pada sore hari. Mereka datang dari berbagai pelosok kota, dan dari berbagai kalangan, dari anak mudah hingga orang tua datang menghabiskan sisa hari mereka di sini, memandangi laut lepas yang tenang, dan lembayung senja yang merona ketika matahari terbenam dari bumi.
Di Tembok itu, saya duduk sambil membuka satu per satu buah durian, hanya dengan tangan, sebab semunya sudah matang dan hampir terbelah secara alami. Ketika sedang santap durian, beberapa anak mudah juga datang dan duduk tak jauh dari saya. Mereka juga sedang membawa beberapa buah durian, sambil menunggu teman mereka. Nampak salah satu dari mereka sedang menelpon teman mereka dengan hanphonenya dan menanyakan posisinya. Anak mudah itu juga memberitahukan temannya tentang posisi keberadaan. Ketika anak muda itu sedang memberitahukan posisi mereka, Ia lalu mengatakan bahwa ‘ posisi mereka sedang beradan di depan kandang ayam’. Ah, saya paham ‘ apa yang dimaksudkan dengan kandang ayam. Rupanya di depan kami itu ‘ ada sebuah tempat lokalisasi yang mereka kenal dengan sebutan kandang ayam’. Saya memang sering mendengar orang-orang meyebut “kandang ayam”, tempat prostitutsi di Kaimana yang sudah cukup lama. Namun, saya sendiri masih penasaran di mana lokasinya dan bagaimana bentuknya. Ada rasa malu yang tinggi untuk bertanya kepada warga atau kepada kawan di mana lokasinya, sehingga saya tidak berani. Mendengar percakapan pria muda tadi, saya akhirnya tahu lokasinya. Rasa penasaran itu semakin tinggi, untuk melihat situasi lokasi prostitusi itu, bagaimana bentuknya dan bagaimana suasana malam di sana. sai santap enam buah durian, tubuh berkeringat dan tentu kenyang sekali. Kini saatnya kembali ke rumah dan mempersiapkan rencana ekplorasi di kandanhg ayam, jika sebentar nanti cuaca mendukung.
Sekitar pukul sembilan malam, saya memasang jaket penghalang angin, menghidupkan sepeda motor dan meluncur di jalan raya. Nampak jalan mulai agak sepi, dan agak gelap karena lampu jalan sepanjang jalan tidak menyala. Hanya ada rumah rumah dan kios di tepi jalan yang memberi sedikit penerangan ke jalan raya yang gelap itu. Tujuan saya adalah ke Kandang Ayam, lokasi prostitusi yang sering saya dengar disebut warga. Berbekal informasi dari percakapan anak mudah tadi sore, saya mencoba melacak di mana persis lokasinya. Setelah tiba di sana, ternyata ada beberapa gang di depan tembok talut yang tadi kami duduk. Entah yang mana yang menuju ke lokalisasi itu. Saya harus masuk satu persatu, penuh was-was, agak malu sebab hampir di setiap gang ada warga yang nongkron. Setiap jalan dan gang saya lalui, namun saya tidak menemukan tanda-tanda rumah para pekerja seks itu. Saya sempat masuk di beberapa diskotik, namun sepertinya bukan ini yang dimaksudkan. Lokasinyapun tidak seperti yang dikatakan anak mudah itu sore tadi. Hingga tengah malam, saya tidak menemukan tanda-tanda itu, akhirnya saya pulang ke rumah dengan rasa penesaran yang tinggi.
Sore hari pada keesokan harinya, sekitar pukul lima sore saya mampir sebentar di tembok talut dekat Jembatan Airtiba, sekedar mengamati suasana. Ada begitu banyak orang yang datang mampir dan duduk di sepanjang tembok. Beberapa pasang muda-muda juga sedang asyik ngobrol menanti senja yang akan tiba sebentar lagi. Ada juga beberapa warga yang jogging sepanjang jalan lalu duduk sebentar menarik napas dan meneguk air mineral. Dari kejauhan saya mengamati jalan masuk gang-gang yang semalam saya lalui, berharap menemukan tanda-tanda lokasi prostitusi itu. Namun tetap saja tanda-tanda itu tidak kelihatan. Tak lama kemudian, ada seorang kawan yang lewat di depan saya dan kemudian berhenti dan memarkirkan sepeda motornya. Ia mengelurkan sebungkus rokok dari saku jaket abu-abunya dan menyulut sebatang di mulutnya. Ia menawarkan rokok itu pada saya, namun saya menolaknya, karena memang saya tidak merokok. Di sela-sela obrolan kami, saya lalu memberanikan diri menanyakan lokasi prostitusi itu. “ mana yang orang-orang sebut kandang ayam itu ?” tanya saya kepada lelaki itu. “ Di sana, di gang kecil itu, berdekatan dengan kantor Partai G*****, masuk dari samping nya” jawab sahabat itu, sambil jarinya menunjuk ke arah kantor partai itu. Oh, dalam hati, tadi malam saya melewati jalan ini, tetapi di dalamnya sepi sekali, tidak ada tanda-tanda seperti musik, kerlap-kerlip lampu, dan gadis-gadis seksi yang duduk menanti para pria pelanggang mereka. Saya kemudian bergegas pulang ke rumah dengan membawa rasa penasaran itu.
Sekitar pukul sepuluh malam, saya melaju dengan sepeda motor, menuju gang dekat kantor partai itu. Cuaca agak sedikit gerimis dan dingin, serta jalan yang sudah mulai sepi. Di depan kantor partai itu, ada banyak orang yang nongkrong. Saya mengamati hampir setiap malam di situ selalu dipadari dengan anak-anak muda. Rupanya, di sana tersedia Wifi gratis, sehingga anak-anak mudah cukup ramai berkumpul di situ untuk mengakses internet gratis. memperhatikan banyaknya orang di situ, saya agak ragu untuk masuk ke dalam gang itu, sebab ada banyak orang melihat saya. Niat saya memang hanya untuk mengetahui suasana di dalamnya, namun bisa saja dipahami lain oleh mereka. Saya memutar lagi jalan protokol itu dengan sepeda motor dan kemudian masuk melalui gang kecil itu. Gang itu benar-benar sempit dan dibatasi dengan seng di sisi sebalah kiri dan tembok betong pada sisi sebelah kanan setinggi dua meter. Di depan pintu gerbang saya berhenti, matikan mesin sepeda motor dan memandang lurus ke dapan, ke arah teras rumah yang jaraknya sekitar 15 meter. Di sebuah rumah ukuran sedang dengan teras kecil, ada empat orang perempuan dan satu orang lelaki duduk di depan teras itu sambil bermain kartu. Tidak ada dentuman musik, tidak ada kerlap-kerlip lampu warna-warni, dan tidak nampak pula gadis-gadis dengan pakaian seksi. Saya agak ragu untuk masuk, sebab lokasi ini nampak seperti rumah tempat tinggal biasa. Sekitar sepuluh menit saya parkir di situ, menimbang-nimbang, apakah mau masuk atau tidak.
Saya kemudian menghidupkan mesin sepeda motor dan meluncur perlahan masuk ke dalam halaman rumah itu, dan berhenti di bawah sebuah pohon kecil, sekitar lima meter dari teras rumah. Tak lama parkir di situ, ada seorang wanita berbaju biru mengenakan celana pendek, dengan postur tubuh agak gemuk, datang menghampiri saya. Jika boleh saya tebak, wanita itu usianya antara 35-40 tahun. Wanita itu dengan enteng mengatakan kepada saya, “ mau cari lawan?”, Saya blum paham apa maksudnya, sebab mereka sedang bermain kartu, sehingga saya menduga Ia bermaksud mengajak bermain kartu atau mungkin main judi. Saya bertanya lagi kepada wanita itu ‘ maksudnya lawan apa”, lalu wanita itu mengatakan, lawan main di kamar. Oh, rupanya begitu. Saya kemudian sadar kalau memang benar ini lokasi yang dimaksdukan dengan ‘kandang ayam itu’. Lokasinya memang berada dekat dengan kandang peternakan ayam, sehingga orang menyebutnya kandang ayam, yang merujuk pada rumah prostitusi itu.
Saya menanyakan kepada wanita itu, “berapa harganya?”, “250.000 sekali main”, kata wanita itu. Ia terus merapat ke sepeda motor saya, dan mengarahkan saya untuk memarkirkan sepeda motor di samping rumah itu. Namun, saya mengatakan saya masih menunggu teman, katanya mau ke sini sebentar lagi” . Wanita itu lalu kembali ke tampat duduknya di teras rumah. Beberapa wanita yang lain sedang asyik bermain kartu dan merokok. Dari atas sepeda motor, saya mengamati sekitranya. Memang sepi, saya tidak melihat ada pelanggang yang masuk dan keluar. Tak lama kemudian, wanita berbaju biru itu, datang lagi mendekati saya, dan mengatakan “mau main ga?. “Ayo ke dalam”, wanita it terus membujuk saya. Saya tetap pada alasan tadi, “saya masih menunggu teman”. Wanita itu kembali lagi ke terus rumah. Jika saja ada musik, ada karaoke dan ada banyak orang di dalam rumah itu, saya bisa saja turun dari sepeda motor dan masuk ke dalam sekedar mengamati suasana di dalam. Namun itu, tidak memungkinkan, suasana sepi. Saya menghidupkan sepeda motor dan tancap gas keluar dari areal lokalisasi itu, yang pasti saya sudah mendapatkan gambaran sedikit tentang apa yang orang-orang di sana sebut dengan kandang ayam itu.