Dengan gagah perkasa tuan Murdani turun dari lantai dua gedung tempat kami belajar. Di tangan kanannya menggenggang smartphone sambil tangan kirinya membuka pintu laboratorium UIG di lantai dasar gedung itu. Ia menengok masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan layar komputer itu dan memandangi dari sudut ke sudut ruangan itu. Posisi saya berada paling sudut dan bisa memandang wajahnya yang nampaknya agak seram. Mungkin karena sudah geram dengan janji-janji yang pihak pengelolah beasiswa 5000 Doktor MORA. Masalahnya, kami sudah seringkali dijanji soal pembagian buku rekening bank dan living allowance selama mengikuti pelatihan di Jakarta. Secara khusus, para awardee yang berada di UIG Jakarta. Sejak awal tiba dan mengikuti pelatihan, para awardee yang semuanya adalah dosen itu, belum diberikan living allowance lebih dari tiga bulan. Sementara rombongan yang lain di UIN Jakarta telah menerima bantuan biaya hidup mereka. Ada apa ini? Mari kita tanyakan langsung kepada para pengelolah di Lapangan Banteng Jakarta Pusat. Siang itu Tuan Muardani menanyakan dengan sedikit memaksa satu per satu dari kami, agar semua awardee di UIG harus ke DIktis di Lapangan Banten Jakarta, dengan misi khusus bertemu pengelolah beasiswa 5000 Doktor dan meminta pertanggung jawab mereka soal biaya hidup yang belum diberikan, semetara di tempat lain telah diberikan. Tuan Murdani rupanya cukup memahami kondisi kawan-kawan yang sudah sekarat, setengah mampus.
Kami sesungguhnya telah merencanakan kunjungan ini sebelumnya, namun pihak MORA berjanji akan menyalurkan bantuan biaya hidup itu pada pekan itu, sehingga rencana ke sana dibatalkan. Akan tetapi, setelah seminggu, ternyata yang dinanti tak juga terealisasi, maka hari ini adalah hari terakhir toleransi. Meskipun telah diberitahukan oleh pihak pengelolah beasiswa 5000 Doktor bahwa, tidak perlu kesana, karena mereka sedang dalam pemeriksaan BKP, biarakan merekalah yang akan menemui seluruh awardee di UIG. Benarkah? kami sudah tak tidak percaya lagi.
Semuanya sepakat ke Diktis ! Tuan Murdani menginstruksikan seluruh personil untuk berangkat secara berkelompok, mungkin khawatir ada yang diculik di tengah perjalanan jika pergi sendirian. Pukul 13.15 menit, para gerombolan dosen ini berangkat secara bertahap. Pak Indra, senior kami, memimpin satu rombongan dalam satu mobil, Pak Burhan dengan pasukannya juga telah siap meluncur, dan saya bersama Zaki, dan Tuan Murdani, berangkat menggunakan satu mobil, yang sesungguh sangat sempit untuk manusia dengan tubuh sebesar mereka. Napas sedikit sesak dengan bau ketek asam tapi itu tidak masalah. Perjalanan harus aman hingga tujuan dan agenda harus tuntas hari ini. Misi kami adalah mengambil buku rekening kami beserta isi di dalamannya. Dalaman itu berarti isi rekening, he he he, ini istilah baru dari UIG. Misi yang lainnya adalah meminta klarifikasi pengelolah beasiswa 5000 Doktor terkait keterlambatan penyaluran bantuan biaya hidup, dan mengapa di tempat lain sudah diberikan namun kami belum.
Hampir jam tiga sore seluruh personil tiba di lantai dasar gedung Kementerian Agama, kecuali Febria dan Sofie dari kelas AE5i yang tidak sempat ikut serta Syukron dari AE4 yang ketiduran di mushola. Di lantai tujuh kami menuju ruangan khusus unit pengelolah beasiswa 5000 Doktor. Saya melihat pak Amir, ia berjalan mendekati dan menjabatangan beberapa kawan yang berdiri persis di dekat ruang kerjanya. Nampaknya, mereka cukup kaget karena yang tiba di situ bukan perwakilan, sebagaimana mereka inginkan, melainkan seluruh personil UIG. Ruangan rapat yang mereka miliki cuma bisa menampung enam sampai sepuluh orang. Jelas, tak mampu untuk menampung kami, beserta keluhan kami, ha ha ha. Kami kemudian diminta untuk pindah ke ruangan yang lebih besar. Wah. nampaknya, ruangan yang kami gunakan adalah ruang rapat para pembesar di Diktis. Ruangan dan fasilitas pertemuan yang sangat keren, serta layar LCD super besar untuk presentasi terpasang pada bagian depan ruang pertemuan tersebut.
Pak Amir memulai dengan menyambut kedatangan kami dan menceritakan secara umum kondisi terkini pengelolah beasiswa 5000 Doktor. Intinya Amir ingin mengatakan bahwa tidak ada kesengajaan untuk menunda penyaluran bantuan biaya hidup, namun ada birokrasi yang harus dilalui, apalagi jika terdapat kesalahan dalam dokumen atau ada perubahan dalam dokumen maka, proses pengusulan pencairan harus diulang lagi. Selanjutnya kesempatan diberikan kepada para awardee. Tuan Murdani memulainya dengan menguraikan kondisi para awardee yang sudah setengah mampus. Ia juga menyampaikan bahwa soal keterlambatan allowance ini sudah diping-pong di grup-grup WA dan bahasanya sangat tidak enak di dengar. Bahkan menurutnya, ada yang telah mengirim WA kepada Dirjen, itu sungguh tidak baik sebetulnya, kata Murdani ! wah ini orang bela awardee atau pengelola 5000 Doktor yang telat itu? ha ha ha. Sayamemanfaatkan kesempatan ini dengan menanyakan langsung apa yang menjadi kegelisahan saya dan teman-teman, intinya saya menanyakan jika uangnya telah ada maka hari ini kami hendak mengambil biaya hidup kami. Kawan kami Pak Bastian pun menyambung pertanyaan kami dengan menceritakan kondisi mereka sebagai pegawai dosen swasta, dimana jika tidak mengajar maka tidak menerima bayaran apapun. Sehingga, hidup di Jakarta tanpa ada living allowance selama tiga bulan itu, sungguh sangat menyiksa awardee, bagaimana dengan keluarga mereka yang jauh di sana?
Tuntas kami telah menyampaikan tujuan kedatangan kami ke MORA, namun pengelolah nampak telah memiliki jawaban untuk menjawab pertanyaan dan pernyataan kami. Ah, jangan-jangan misi kami hari ini gagal dengan melihat gelagat mereka. Para pengelolah beasiswa 5000 Doktor itu, satu per satu mencoba menanggapi pertanyaan kami.
Soal Living Allowance yang Telat
Jawaban pengelolah mengapa living allowance telat adalah karena birokrasi yang panjang. Menurut salah satu anggota tim pengelolah bahawa, kurang lebih ada enam orang yang harus menandatangani surat-surat atau dokumen pencairan anggaran, sehingga keseluruhan itu perlu proses dan waktu yang cukup lama. Apalah mereka adalah pejabat untuk seluruh Indonesia, sehingga mereka sering kunjungan ke berbagai daerah, yang berdampak pada keterlambatan dalam penandatanganan surat-surat. Oleh sebab itu, waktu tiga bulan untuk mencairkan anggaran (living allowance) itu tidak cukup, seperti dalam kasus yang sedang kami alami ini. Apakah memang demikian lamanya?
Mungkin itu bukan alasan yang baik, sebab ada kelompok pelatihan di tempat lain yang telah menerima biaya tunjangan hidupnya sebulan sebelum kami mendatanagi MORA. Namun demikian, kami harus memaklumi jawaban mereka. Hari ini, kami bisa mengambil buku rekening kami, yang isinya sedang diproses sore ini, hingga kemungkinan jelang tengah malam nanti, uangnya telah tiba di rekening masing-masing. Demikian jawaban Bendahara pencairan anggaran. Katanya, mereka telah meminta pihak bank untuk mencairkan anggaran kami ke rekening masing-masing tanpa adanya tanda tangan Direktur Diktis, namun mereka sudah meminta izin dan meminta bank untuk memprosesnya dimana Bendahara Pencairan Anggaran itu menjadi jaminan di Bank. What? Jaminan nyawamu? Entahlah, apa maksud jaminannya.
Bagaimana jika ketika hal serupa terjadi saat berada di luar negeri? Menurut pengelolah, mereka telah berusaha bahkan telah memanggil pihak-pihak terkait agar bagaimana penyaluran bantuan beasiswa 5000 Doktor ini, tidak telat. Mereka bahkan telah meminta tanggapan dari pengelolah beasiswa BUDI untuk dosen dari Kementerian Riset dan Teknologi yang juga dikelola oleh instansi yang sama. Namun rupanya, beasiswa 5000 Doktor MORA dan beasiswa BUDI, memiliki kendala yang sama, yakni birokrasi yang panjang dalam proses pencairan anggaran. Situasi ini berbeda dengan beasiswa LPDP yang memang anggrannya tidak bersumber pada DIPA – APBN
Siap-siap Menerima Uang Ratusan Juta di Rekening
Tentu, sebagai orang yang pernah menikmati beasiswa yang diberikan oleh institusi dari luar negeri, jika membandingkan dengan layanan pemberian bantuan beasiswa MORA 5000 Doktor maka, tentu saya akan mengatakan ‘apa yang bisa saya dibanggakan dengan model pelayanan yang selalu telat seperti ini?, Email yang dikirim juga tak pernah direspon, padahal email akan menjadi alat komunikasi kami dengan pengelolah beasiswa di Jakarta. Saya bahkan mengatakan kepada Ketua PMU 5000 Doktor bahwa, saya ingin beasiswa yang kita terima ini juga bisa membuat saya bangga” dan layak disandingkan dengan beasiswa-beasiswa lainnya, baik itu beasiswa dari pemerintah Indonesia, maupun beasiswa dari pemerintah negara lain.
Sejak dua tahun yang lalu, saya berusaha mencari referensi tentang beasiswa ini di dunia maya, namun saya tidak menemui sebuah tulisan di blog yang mengulas pengalaman para awardee penerima beasiswa 5000 Doktor menguraikan pengalaman mereka, termasuk fasilitas yang diterima. Apakah karena tidak sanggup menulisnya sebab terlalu sedih? ataukah karena takut ketahuan lalu beasiswanya dihentikan, atau mungkin itu bukan hal yang penting untuk dituliskan dan dibagikan, sebab semua sedang hanyut dengan studinya. Padahal, dalam pandangan saya, informasi itu akan menjadi referensi bagi pengelolah untuk tetap semangat dalam berinovasi, serta menjadi catatan bagi pelamar untuk mempersiapkan dirinya untuk melamar beasiswa MORA 5000 Doktor, sebab di luar sana masih banyak orang yang tidak paham tentang pengelolaan beasiswa ini. Saya harus mangatakan bahwa masih banyak orang yang belum percaya dengan pengelolaan beasiswa ini oleh MORA. Saya sendiri berharap semoga tidak lagi ada hambatan soal pencairan anggaran, apalagi ketika para dosen sedang belajar di luar negeri. Tentu, hal itu akan sangat mengganggu kenyamanan mereka dalam belajar.
Surprisingly ! Bagi penerima beasiswa MORA, terhitung 2019, seluruh bantuan biaya akan dibayarkan secara keseluruhan selama satu tahun. Pada tahun pertama sebelum keberangkatan, awardee akan menerima biaya selama satu tahun, demikan juga pada tahun kedua, tahun ketiga dan keempat (jika ada). Sehingga, tidak lagi ada keterlambatan dalam pencairan anggaran. Persoalannya adalah, bagi mereka yang hendak memulai studi mereka pada awal tahun antara Januari – Juni, harus meminta kepada universitas tujuan untuk menunda hingga bulan Agustus atau September, sebab anggaran baru bisa dicairkan antara Agustus – September. Hal ini cukup beresiko bagi mereka yang telah menerima LOA dan akan memuali studi antara Januari – Juli, mereka harus bisa meyakinkan pihak universitas dan supervisor untuk menunda waktu masuk mereka ke perguruan tinggi. Jika perguruan tinggi menyetujuinya maka itu akan sangat baik, karena lebih memiliki banyak mempersiapkan berbagai keperluan, termasuk dokumen-dokumen perjalanan. Namun, jika tidak berhasil, maka harus melamar ulang lagi pada perguruan tinggi.
Pencairan beasiswa satu tahun sekalius ini menuntut para awardee untuk lebih bijak dalam memanfaatkan uang yang telah dicairkan ke dalam rekening mereka dengan jumlah yang fantastis itu. Menurut pengelolah dalam satu tahun seseorang bisa menerima uang di rekeningnya antara 500 – 700 juta. Jumlah uang sebenyak itu mencakup biaya hidup bulanan selama satu tahun, uang kuliah selama satu tahun dan biaya buku. Sedangkan tunjangan keluarga akan diberikan pada tahun kedua setelah perkuliahan perlangsung. Besarnya tunjangan keluarga adalah sebesar 25% dari living allowance setiap bulan, yang diberikan pada tiap anggota keluarga dengan jumlah maksimal dua anak dan satu istri. Jika memiliki dua istri, tidak akan dihitung. Sehingga jumlah total tunjangan keluarga adalah 75% dari living allowance setiap bulan, dan akan diberikan hanya pada tahun kedua dan ketiga. Belum jelas, apakah tunjangan keluarga juga diberikan pada tahun keempat, jika proses penylesesaian PhD memerlukan tambahan waktu 1 tahun? Saya juga belum menemukan jawabannya dan akan lebih baik jika ditanyakan langsung kepada pengelolah beasiswa 5000 Doktor MORA.