Krisis Energi, Benarkah?

Indonesia mengalami krisis energi? Entahlah, bagaimana mungkin negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah, dari Sabang di ujung Barat hingga ke ujung timur Merauke, bisa mengalami krisis energi? Jangan-jangan ini hanya akal bulus politisi, penguasa dan pengusaha dalam sandiwara klasik mereka.

Di pantai Selatan Papua, saat berlibur ke sana setelah lebih dari sepuluh tahun tidak ke sana, kampung itu kini telah mengalami perubahan cukup besar. Jalan utama di kampung itu kini telah beraspal alias tidak berlumpur lagi seperti masa sekolah saya dulu. Akan tetapi, anak-anak mudah dan kebanyakan orang di kampung itu, kini berada di ibukota Kabupaten, mereka lebih banyak menghabiskan waktu di sana, menikmati hiruk pikuk kota dan kerlap-kerlip lampu dari tiang-tiang kapal hingga redupan samar lampu disko. Di sana mereka menikmati gaya hidup kota hingga saku mereka kering dan memaksa mereka harus kembali ke kampung halaman, dimana ketika malam tiba kampung itu seperti mati, sepi, senyap dan gulita. Tidak ada listrik, hanya di ujung dermaga tua di kampung itu, sepasang solar panel yang menerangi kehiningan malam kampung itu.

Sebagai orang yang telah terbiasa menggantungkan aktivitas kehidupan pada energi listrik, merasa sangat gerah ketika ingin menuliskan cerita ini di laptop saya. Saya mencoba untuk bertanya-tanya kepada beberapa warga dekat, mengapa listrik tidak menyala, mereka lantas memberi jawaban “solar habis”, sudah hampir sebulan,’ ‘biasanya jam enam sore menyala dan padam jam dua belas, tapi sekarang kadang jam sembilan atau sepuluh sudah padam”. Saya hanya terdiam, mengerutkan dahi. Dari kegelisahan mereka itu, tak sungkang salah seorang malah dengan lugas mengatakan ‘lebih baik kita tanpa listrik, daripada sudah ada listrik, sudah punya TV, parabola, kulkas, tapi listrik mati!”

Kegelisahan masyarakat ini menunjukan bahwa, warga di kampung kini juga mengandalkan energi listrik dalam aktivitas mereka. Tak jauh berbeda dengan masyarakat perkotaan. Padamnya listrik juga menjadi masalah besar bagi mereka. Sekitar sepuluh tahun lalu, ketika saya masih di sana, listrik di kampung itu, telah menyala jam enam sore dan akan dipadamkan pada jam dua belas malam. Seharusnya layanan listrik di sana sudah meningkat setelah lebih dari sepuluh tahun. Namun, nyatanya malah makin menurun, hingga beberapa warga terpaksa harus membeli genset untuk kebutuhanya sendiri. Ironisnya, di Papua berdiri kokoh ladang gas LNG Tangguh, salah satu ladang gas bumi terbesar yang ada di Indonesia, yang diharapkan bisa memberi manfaat yang besar, menerangi malam-malam mereka. Tapi entah ke mana dibawa hasil bumi yang disedot itu?Lantas, inikah indikasi bahwa saat ini Indonesia mengalami defisit minyak bumi, sehingga pasokan minyak untuk kebutuhan listrik di kampung itu mengalami penurunan dibanding sepuluh tahun lalu?

Masyarakat umumnya memahami bahwa Indonesia adalah negara yang kaya, sumber daya alam yang melimpah ruah, sehingga tidak masuk akal jika mengalami krisis minyak bumi. Realitasnya menunjukan bahwa masyarakat memang kesulitan memperoleh bahan bakar (BBM), dari pemadaman listrik total, pemadaman listrik bergilir, hingga antrian panjang berjam-jam di SPBU?   Jika demikian, bagaimana dengan sumber daya alam yang berlimpah itu? bagaimana dengan ladang minyak bumi dan gas alam yang disedot dari tanah tumpah darah mereka? Apakah ini hanya ilusi? Pemerintah perlu secara jujur mengatakannya, apakah benar Indonesia sedang mengalami krisis energi, dan dikemanakan hasil bumi yang tersedot dari tanah mereka, terlebih lagi kepada masyarakat awam. Masyarakat juga perlu diberitahukan terkait bagaimana pemerintah mengelolah SDA di negara ini, dan terus terang mengatakan bahwa cadangan minyak bumi di Indonesia makin hari makin menipis, sementara semakin hari kebutuhan energi di Indonesia kian meningkat. Pendidikan-pendidikan yang jujur seperti ini sejatinya akan mampu membangun kesadaran terkait kondisi riil energi yang ada di bumi pertiwi sehingga tidak terus hanyut dalam ilusi kekayaan alam yang berlimpah.

Sebetulnya, dengan hanya memperhatikan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 237 juta jiwa, dan akan terus bertambah setiap tahun, sudah pasti akan berdampak terhadap jumlah konsumsi energi dalam negeri. Kebutuhan energi dalam negeri akan terus meningkat, untuk konsumsi rumah tangga maupun konsumsi industri dalam negeri, yang diperkirakan selama sepuluh tahun ke depan konsumsi energi secara nasional akan meningkat antara 4 hingga 4,6%. Padahal, Indonesia hanya memiliki cadangan minyak bumi 3,6 miliar barel atau hanya 0,3%, yang kemungkinan akan kering tersedot dalam 10 atau 11 tahun ke depan. Sehingga kekhawatiran akan krisis energi bukan mustahil bisa terjadi, jika tidak ada upaya-upaya konkrit dalam meningkatkan suplai energi. Pengembangan dan pembinaan terhadap industri hulu migas harus terus dilakukan, untuk terus melakukan eksplorasi, pembukaan ladang-ladang baru minyak bumi, mengembangkan industri energi alternatif hingga melakukan gerakan-gerakan penghematan energi yang sistematis dan terukur.

Masyarakat juga perlu diberikan pemahaman bahwa pengembangan industri hulu migas sebagai ujung tombak produksi minyak dan gas memerlukan biaya yang besar dan waktu yang cukup lama untuk memproduksi minyak dan gas. Pengembangan sumber energi yang lain (alternatif) juga masih hanya sebatas alternatif, artinya jika kehabisan minyak dan gas. Masih belum ada langkah tegas dalam pengembangan energi panas bumi, energi angin, energi matahari, energi air dan biofuel yang diharapkan bisa mengurangi konsumsi energi fosil, termasuk minyak bumi. Tentu, ada begitu banyak penyebabnya seperti biaya produksi yang jauh lebih mahal, dan harga penjualan yang mahal pula. Dalam kondisi seperti ini, salah satu solusi praktisnya adalah melalui gerakan penghematan energi secara total, masif, sistematis dan terukur. Permasalahannya adalah bahwa pengguna energi terbesar adalah sektor industri, sehingga solusi penghematan energi bisa berdampak buruk terhadap produktivitas industri. Di berbagai negara maju dan di sebagian negara berkembang yang sedang memacu pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan industri, mengalami masalah terkait pengurangan emisi karbon dari energi fosil.

Energy Protocol sebagai Gerakan Total Hemat Energi Nasional

Kasus Kyoto protocol sebagai kesepakatan negara-negara di dunia terkait target-target pengurangan emisi karbon, dalam mengurangi efek pemanasan global, yang secara tidak langsung memaksa negara-negara untuk berlaku hemat dalam penggunaan energi fosil, ternyata oleh negara-negara seperti Amerika, Kanada, India dan Pakistan, bukan solusi terbaik. Sebab dengan pengurangan emisi atau penghematan energi berarti akan terjadi pengurangan atau pembatasan pengoperasian mesin-mesin produksi, hingga pengurangan jam kerja.

 

Dilema produktivitas Industri dan pengurangan emisi karbon (Co2) memang menjadi masalah dalam gerakan hemat energi. Akan tetapi, itu tidak berarti penghematan energi tidak bisa dilakukan, sebab pada dasarnya setiap orang memiliki sikap untuk berlaku hemat dalam konsumsi. Indonesia mungkin tidak jauh berbeda dengan China dengan jumlah penduduk yang sangat tinggi dan laju pertumbuhan industri yang pesat, dimana memerlukan konsumsi energi yang besar. Sehingga. China juga mengalami permasalahan serius terhadap suplai energi dalam negeri. Wilayah –wilayah industri utama di sana mengalami masalah serius hingga di beberapa daerah hanya menerima suplai listrik enam hari dalam seminggu, bahkan ada yang hanya dialiri listrik tiga hari dalam seminggu. Namun mereka bisa bangkit dan mengatasinya.

Di Indonesia, upaya upaya penghematan energi sering dikampanyekan, hanya saja tidak ada keseriusan dan komitmen yang kuat terhadap upaya penghematan energi. Kampanye-kampanye hemat energi hanya sambil lalu, sekedar menghibur dan mengisi ruang kosong papan iklan, tanpa sebuah target, dan rencana pencapaian yang sistematis, dan berkesinambungan. Pemerintah perlu serius memulainya dan secara terus terang menegaskan bahwa Indonesia kini dalam kondisi krisis energi nasional, dan oleh sebab itu perlu adanya gerakan bersama secara nasional untuk penghematan energi secara total. Gerakan ini harus dipelopori oleh pemerintah melalui standarisasi penggunaan energi terhadap industri, mall, restoran, perhotelan, perkantoran hingga rumah tangga. Bukan tidak mungkin, masyarakat akan melakukannya secara lebih serius.

Pemerintah perlu menetapkan satu kerangka acuan sebagai ‘Energy Protocol”dalam gerakan penghematan energi secara nasional, termasuk target-target penghematan energi dengan evaluasi yang menyeluruh, dengan menerapkan sistem reward bagi industri atau perkantoran yang bisa melakukan efisiensi energi dengan standar dalam satuan waktu yang ditentukan. Untuk industri dan perkantoran atau tempat-tempat publik, perlu adanya standarisasi penggunaan energi, dengan menentukan standar voltase listrik pada ruang-ruang publik yang biasanya digunakan terus menerus , dan tempat-tempat atau ruang –ruang yang tidak terus menerus digunakan, termasuk pada kamar-kamar hotel, koridor, lobby, ruang kerja perkantoran dan sebagainya. Untuk itu, diperlukan instrumen yang bisa digunakan untuk memonitor penggunaan energi, di perkantoran, industri hingga rumah tangga. Selain itu, penting untuk dilakukannya pendidikan hemat energi, yang terencana secara berkesinambungan, melalui pendidikan formal maupun informal. Siswa di sekolah juga perlu diberitahukan tentang cara-cara praktis penghematan energi, dan dampak-dampak krisis energi dan pemanasan global. Bukan mustahil, gerakan ini akan mampu menekan naiknya konsumsi energi dalam negeri secara signifikan, sehingga ancaman krisis energi secara perlahan-lahan bisa ditekan. Selanjutnya, pemerintah bisa fokus pada pembenahan dan pengembangan industri hulu dan hilir migas, termasuk pengembangan sumber energi selain energi fosil sebagai energi utama di wilayah-wilayah tertentu yang berpotensi. Dengan demikian maka Indonesia bisa memiliki ketahanan energi nasional yang kokoh.