Catatan Perjalanan Hari Ke Tiga ( Episode II)** Hari sudah mulai panas dan air laut telah surut meninggalkan kolom-kolom rumah berlumpur. Kami harus segera naik ke perahu dan keluar, jika tidak perahu kami akan kandas. “Ayo kita ke perahu saja, sambil dorong keluar perahu biar tidak kandas” kata anak muda, jurumudi kami. Anak muda ini yang akan mengantar kami menjelajahi pulau-pulau dan misteri tapak tangan berdarah itu. “Kita bila air minum dulu, sambil berjalan keluar rumah menuju toko terdekat, kata Parto. Saya memegang tripod kamera dan menggantung tas kamera ke bahu saya, dan menuruni tangga rumah ke dasar lumpur di belakang rumah, di susul pak Akhmad, kami berjalan menuju perahu yang akan kami gunakan. Di sana sudah ada anak mudah, pengemudi perahu itu dan Bapak Rais Kuda, orang tua yang akan menemani kami. Saya berharap beliau akan bercerita banyak terkait lokasi-lokasi yang akan kami kunjungi. Perahu yang akan kami gunakan berukuran kecil, dan telah terpasang sebuah motor tempel berkekuatan 15 HP. Dari arah laut, saya memandang ke darat bukit dengan tulisan ‘Kota Basis Pertahanan Perang Dunia II.”, sementara di tepi pantai berjejer rumah dengan kolom-kolom yang kering. Ada beberapa orang yang sedang beraktifitas, di rumah bagian belakang, di tepi air ada seorang kakek dengan perahu kole-kole, Ia sedang memikul kayu bakar yang baru saja ia ambil dengan perahu. Parto dan Pak tentara nampak turun dari tangga dapur dan menuju ke arah kami sambil memegang satu kantong plastik hitam yang berisi beberapa botol air mineral.
Mereka pun tiba di perahu, kami siap untuk berangkat. Haluan dibelokkan dan motor dihidupkan. Driver anak muda itu menaikkan kecepatan motor dan perahu kami melaju dengan kencang. Haluan perahu kami menuju Ugar, dengan gugusan pulau-pulaunya. Terasa cukup kencang angin barat menyapu perahu kami ketika telah berada di tengah laut. Ombak dan arus menerpa kami cukup kencang, menghempas perahu dan membasahi kami. “Turunkan gas, peralatan kamera basah” Seru Bapak Rais yang duduk di dek perahu depan kepada jurumudi di belakang. Sebagai pemandu depan, jurumudi pun harus mendengarnya apalagi sebagai orang tua. Anak muda itupun mengurangi kecepatan perahu kami. Perahu kami berjalan dengan kecepatan setengah melewati beberapa perahu nelayan yang sedang memancing, hingga kami mendekati pulau-pulau dan kampung Ugar. Ikan sedang asyik bermain dan melompat-lompat di dekat kami, dan di sebelah kanan perahu kami, sekitar 30 meter, nampak empat ekor ikan lumba-lumba sedang asyik bermain ombak, melompat di atas permukaan air.
Kami menelusuri sisi selatan kampung Ugar hingga sisi Utara, pemandu kami bermaksud mengarahkan perahu kami melewati sela-sela pulau di kampung Ugar dan menuju ke lokasi tebing-tebing karang dengan lukisan tapak tangan yang akan kami tuju, namun karena air telah surut, kami tidak bisa melewati sela-sela karang dan pulau-pulau dekat kampung Ugar, hingga kami harus berbalik haluan. Jurumudi kami membelokkan arah perahu kami. Kami kembali menelusuri pulau-pulau di sekitar kampung Ugar dari susu sebelah Selatan. Arus air masih kencang, beberapa kali perahu kami mampu dibelokkan oleh kekuatan arus air laut.
Sudah hampir dua jam perjalanan kami, menyusuri tebing dengan karang-karang cadas, melewati pulau demi pulau, hingga kami tiba di sebuah pulau dengan tebing yang cadas, dan arus air yang kencang di bawahnya. Pulau itu terletak di tengah-tengah, antara kampung Ugar dan daratan tanah besar. Mata kami kemudian tertuju pada tebing cadas, dengan lukisan atau cetakan-cetakan tangan lengkap dengan lima jari, hingga melewati pergelangan tangan, lukisan-lukisan itu menempel pada dinding karang dengan tinta berwarna merah darah. Letak lukisan-lukisan itu cukup tinggi, sekitar 4-5 meter dari permukaan air hingga tak mampu di jangkau. Entah menggunakan jenis tinta apa, kapan lukisan itu dibuat, siapa yang membuatnya, dan apa maksud dari pesan-pesan itu, hingga kini masih misteri. Belum saya temukan sebuah penelitian yang mengungkapkan rahasia pesan-pesan itu. Saya tak melewatkan kesempatan itu dengan hanya melototi pesan misteri itu, saya mengarahkan kamera saya dan menjepret berulang kali ke beberapa bagian lukisan-lukisan misteri itu. Driver perahu kami, memutar lagi perahu, dan lebih merapat lagi hingga ke bawah tebing karang keras itu. Kami lebih dekat lagi untuk memotret, namun karena arus air yang begitu kencang, kami tak bisa lama berlabuh di bawah tebing karang itu, khawatir jika perahu kami bisa tertumbuk dengan tebing karang keras itu dan bocor, sebab perahu yang kami gunakan terbuat dari fiber yang tidak terlalu tebal, tak tak terlalu kuat menahan Namun sudah cukup, saya sempat memotret tiga spot dari lukisan-lukisan itu serta sempat juga merekamnya dalam format movie.
Anak muda, pengemudi perahu kami itu kembali tancap gas. Perjalanan kami lanjutkan menyusuri pulau pulau, jurumudi kami mengarahkan perahu kami ke arah Selatan, menyeberangi laut menuju daratan. Tujuan kami masih tetap sama, yakni melihat lukisan-lukisan misteri di dinding karang. Angin masih tetap kencang, menantang arah perjalanan kami, ombak pun terus menimpa perahu kami dan wajah kami. Karena air yang kabur dan ombak , kami tidak melihat gerombolan lumba-lumba, hingga perahu kami menabrak seekor ikan lumba-lumba, untungnya ikan itu tidak mati, atau tidak terkena baling-baling motor perahu kami. Gelombang cukup kencang menghantam moncong perahu kami, saya memang lupa membawa pembungkus kamera anti air, hingga saya membungkus kamera saya dengan sebuah kantong plastik hitam, bekas mengisi air mineral, agar tidak terkena air laut. Sekitar 20 menit kemudian, kami telah tiba di seberang, tanah daratan hanya sekitar 300- 500 meter dari jarak perahu kami yang sedang melaju dengan kencang. Kami menyusuri tepi pantai yang berombak dengan air yang sedikit kabur. Dari daratan sana terlihat bangunan masjid dengan kubahnya yang mengkilap. “Ini kampung Andamata” kata Bapak Rais sambil menujuk kampung itu. Sudah sekitar tiga jam perjalanan kami. Di depan kampung ada ladang penangkaran rumput laut yang cukup luas. Rupanya masyarakat di sini juga membudidayakan rumput laut, untuk dijual.
Mata saya kemudian tertuju pada sebuah tumpukan batu di bawah sebuah tebing karang, yang berada di depan kampung Andamata, dimana ada tertanam sebuah lambang salib yang terbuat dari kayu. Posisinya hanya beberapa jengkal dari permukaan air laut, dan berada di sisi sebelah kanan, depan kampung Andamata. Saya dan juga teman-teman bertanya-tanya, mengapa ada lambang salib di situ. Apakah memang warga di kampung ini beragama Kristen? Warga di Kampung ini semuanya Islam, kata Pak Bapak Rais yang duduk berdekatan dengan saya. Karena saya tidak membawa alat rekaman, dan tidak pula memungkinkan untuk merekam, maka saya hanya mengingat apa yang beliau ceritakan, yang jika saya uraikan ceritanya seperti ini ;
“Lambang itu dipasang oleh orang kampung sebagai penangkal wabah penyakit” karena pernah terjadi orang mati terus-menerus di sini karena wabah, sudah banyak cara dicoba, dari termasuk dari agama Islam, namun hanya ada seorang pendeta yang berhasil menyembuhkan mereka, hingga bagi mereka memasang tanda salib itu, di depan kampung untuk menangkal bahaya wabah itu.” “Sebagian besar masyarakat telah menolak itu, namun banyak juga masyarakat yang bersikeras hingga terjadi masalah dalam masyarakat di kampung ini. Bahkan dulunya lambang Salib lebih besar lagi telah dipasang di atas Kampung Andamata, namun karena mayoritas masyarakat ribut (bertengkar) soal itu, akhirnya diturunkan, dan kini hanya ada di depan kampung. Bupati pernah memanggil Dandramil untuk menyelesaikan masalah itu, dan meminta masyarakat untuk mencabut lambang salib itu, mengingat seluruh masyarakat yang ada di sana beragama Islam, namun sebagian masyarakat tidak terima, lambang itu dilucuti. Hingga kini lambang salib itu masih tetap terpasang di depan sebelah kanan Kampung Andamata sebagai penangkal wabah”
Mendengar cerita Bapak Rais, saya sebetulnya ingin sekali ke kampung itu dan menelusuri keberadaan lambang Salib itu, dan cerita yang terbugkus di dalamnya. Ini potensi konflik, jika tidak segera ditangani. Bagaimana mungkin, kampung yang mayoritas Muslim, bisa menerima kehadiran lambang Salib itu sebagai penyelamat mereka dari wabah penyakit yang telah menyerang mereka. Tapi bisa juga menjadi sesuatu yang unik, jika masyarakat di daerah tersebut tetap menjalankan perintah agama Islam, namun menerima juga kehadiran agama lain. Tentunya, memang butuh penelusuran lebih dalam terkait masalah ini.
Lebih setengah jam perjalanan kemudian, kami tiba pada sebuah tebing tinggi yang juga memuat gambar cetakan-cetakan tangan, lengkap dengan jari-jarinya lebih banyak lagi, di depan kami setelah beberapa menit perjalanan kami kembali menemukan lukisan-lukisan yang sama, tidak terlalu jauh dari kampung Andamata. Perahu kami terus melaju, membelah ombak, hingga melawati pulau-pulau hingga tiba pada sebuah selat kecil. Air memang sudah surut namun ombak dan arus masih kencang. Di sebuah tebing karang kadas, nampak juga lukisan-lukisan tangan di dinding, hingga pada sebuah tebing tak terlalu jauh dari kami. Juru mudi kami, menurunkan kecepatan perahu, hingga cukup untuk mengimbangi kekuatan angin dan ombak. Saya dan juga teman-teman di dalam perahu berusaha untuk memotret dinding cadas itu dengan kondisi perahu yang terombang-ambing oleh gelombang. Sayang sekali, kami tidak bisa merapat lebih dekat lagi ke tebing batu itu, karena ombak dan angin yang cukup kencang, kami bisa celaka jika merapat ke tebing kadas dan tajam itu. Dari jarak yang tidak terlalu jauh saya membidikan kamera saya pada tebing kadas dengan lukisan-lukisan misterius itu.
Selain lukisan-lukisan misterius itu, perhatian saya juga tertuju pada sebuah kain berwarna merah, yang terpasang pada sebuah kayu batang di lokasi lukisan-lukisan misterius itu. Kain merah itu terlukis logo yang unik. Jika saya tidak keliru, logo itu berkaitan erat dengan kepercayaan dan roh-roh halus, berkaitan pula dengan sihir atau black magic. Nampaknya, kain merah dengan logo itu juga sudah cukup lama terpasang di situ, hingga warna kain sudah memudar. Namun tentunya usia lukisan-lukisan dinding misterius itu, jauh lebih tua, meskipun hingga kini, belum ada arkeolog yang mengungkap berapa usia lukisan-lukisan di dinding karang itu.
Kaburan Putri Duyung di Celah Karang
Kecepatan perahu kembali dinaikan oleh jurumudi, kami terus membela ombak dengan air laut yang masih kelihatan kabur dan gelap. Nampak di sebelah kiri daratan, ada sebuah kampung. “ itu Fior” kata Bapak Rais. Kami melewati sebuah kapal kayu kecil yang nampak memiliki muatan yang padat dan terombang-ambing oleh gelombang. Ada sebuah perahu yang baru saja bertolak dari kapal itu, menuju kampung. Saya menduga, itu adalah kapal penampung ikan, namun menurut Bapak Rais kemungkinan kapal itu mengangkut bahan bangunan untuk pekerjaan di kampung. Kami terus melaju melewati kapal itu, hingga sekitar tiga puluh menit perjalanan, kami memasuki sebuah selat dan beberapa pulau kecil di sebelah kanan dan kiri, dan pada sebuah sela tebing karang nampak sebuah makam sederhana.
Saya bisa melihat dari jarak yang jauh di dekat kuburan itu ada diletakkan tiga buah dayung dari kayu yang nampak sudah lapuk, sekitar lima tengkorak kepala manusia, yang diletakkan di atas papan dari kayu, bersebelahan dengan sebuah meja dari kayu yang berada di sisi sebelah kiri kuburan, seutas kain berbentuk bendera berwarna merah putih yang diikatkan sebuah kayu kecil dan ditanam di dekat kuburan pada sisi sebelah kanan , semua itu nampaknya tidak terlalu lama dibuat, kecuali tengkorak-tengkorak kepala manusia itu, yang mungkin sudah lama. Di sisi kanan kuburan itu, ada sebuah papan yang bertuliskan DILARANG NAIK TANPA IZIN ZAZIM.
Saya kemudian bertanya kepada Bapak Rais, ZAZIM itu marga di sini? Bapak Rais mengatakan Ia, marga itu ada di kampung Andamata. Saya tidak mendapatkan banyak cerita terkait kuburan di tebing batu itu. Tapi dari penglihatan saya, kuburan itu nampaknya baru dibuat secara permanen, dan Bapak Rais pun mengatakan bahwa dulunya memang tulang belulang dan tengkorak hanya berhamburan di situ, namun kemudian dibuatkan kuburan. Menurut para warga di Kokas itu adalah kuburan Putri Duyung. Di tebing itu, ada bekas tangga dari tali yang tergantung di tebing, sebagai alat untuk memanjat ke tebing. Menurut Bapak Rais, kita bisa saja naik untuk foto kuburan itu, tapi karena air sudah surut, ombak dan tebing itu nampak tinggi. Dalam benak saya, jika bapak Rais telah membolehkan itu, maka pastinya segala resiko jahat (terkena wangsit) dan sebagainya tidak ada masalah. Saya teringat tadi pagi sebelum kami bertolak, Ibu tentara (tuan rumah) memang telah melakukan ritual kecil, dan memberitahukan para tetua tentang rencana keberangkatan kami, salah satunya adalah untuk melihat kuburan ini.
Setelah berhenti beberapa saat untuk melihat dan memotret, dan kami merasa sudah cukup, juru mudi kemudian membelokkan perahu kami 180 derajat. Kami akan kembali, kembali menelusuri jejak jalan kami tadi, menuju ke arah Kokas. Namun sebelum ke Kokas, kami akan singgah di sebuah gua, yang tak jauh dari lukisan-lukisan dinding itu, untuk melihat lukisan-lukisan dinding lain lagi, namun karena air telah surut jauh, kami tidak bisa menggapai mulut gua itu dengan perahu. Itu bisa jika kami mau turun dan berjalan sekitar 1 kilometer ke daratan, namun Pak Ahamd dan Parto mengatakan sudah cukup. Kami kemudian menuju Kampung Patimburak. Di sana ada sebuah Masjid Tua, sebuah situs sejarah Islam di Kabupaten Fakfak.