Pukul 11.2, pesawat Garuda Indonesia jenis ATR berbaling-baling dengan nomor penerbangan GA-7636 mendarat di Bandar Udara Douw Aturure- Nabire, setelah menempuh penerbangan selama kurang lebih 35 menit dari Bandar Udara Utarom Kaimana. Bandara ini hanya cukup untuk pesawat berukuran kecil. Namun dekimian. Bandara ini tidak hanya didarati pesawat, namun juga helicopter. Dari bandara nampak beberapa helicopter sedang parkir, ada pula yang baru saja berangkat dan ada juga yang hendak mendarat di landasan Douw Aturure.

Patung Tugu Selamat Datang- depan Bandar Udara Douw Aturure, Nabire
Ketika keluar dari pintu Bandara Douw Aturure Nabire, dan hendak menuju ke gerbang keluar areal bandara, di depan mata, saya memandang sebuah tugu dengan karakter dua buah patung dua orang asli suku Papua, lengkap dengan kelengkapan alat-alat mata pencaharian tradisionalnya. Dua sosok patung itu diukir berdiri tegak saling membelakangi. Ke arah Bandara satu dari patung itu berdiri kokoh sambil meniup kuli bia, sebuah alat musik, jika sebuah alat pemanggil dalam tradisi orang Papua. Ia seakan sedang memanggil kota Nabire untuk datang. Satu lagi patung kokoh berotot sedang memegang panah dan busur di tangan kanannya, dan tangan satunya lagi sedang menggenggam kapak yang diletakan di atas pundak kirinya. Sosok patung itu menghadap lurus ke arah Kantor Bupati Kabupaten Nabire. Sungguh sebuah ilustrasi yang menggambarkan betapa kuat dan kerasnya karakter orang Papua.
Sambil berjalan menuju gerbang, wajah saya juga terpaku pada sebuah stand kecil di sisi sebelah kanan gerbang keluar, dimana tiga orang ibu sedang menggelar jualan jeruk manis, oleh-oleh khas Nabire. Tentunya mereka bukan orang asli Paniai. Mereka adalah warga transmigran yang telah lama tinggal di Nabire. Nampak mereka yang hendak berangkat sedang memilih-milih buah jeruk untuk dimasukan ke dalam kardus yang telah disediakan. Saya mendekati stand kecil itu dan menanyakan harga jeruk itu, sebab ketika pulang besok ke Jayapura, saya hendak membelinya. Satu kotak kardus berat berisi sekitar 3- 4 kilogram jeruk dijual dengan harga 60.000 rupiah.
Iya, kini orang tidak lagi mengenal Kota Nabire karena Singkongnya. Kota ini pernah menyandang julukan kota singkong. Julukan itu tentunya didasari atas potensi yang dimiliknya. Ketika itu, hutan-hutan, kebun-kebun hingga halaman rumah dipadati dengan hijaunya pohon singkong. Namun kini orang lebih mengenal Nabire dengan jeruk manisnya, serta emas yang terus diburu di kilometer 100 Kota itu.
Julukan kota singkong itu tidak hanya memberikan penguatan tentang betapa subur dan kaya sumber daya alam di sana, namun lebih dari itu adalah cermin keuletan warga lokal dalam mengelolah sumber-sumber kehidupan mereka. Julukan itu, juga adalah citar diri mereka, potret kelihaian mereka dalam berkebun hingga menghasilkan singkong sebagai kebutuhan konsumsi maupun komoditas pasar.
Lantas bagaimana nasib Kota Singkong, yang dulu pernah dibanggakan? Tak dapat dipungkiri bahwa arus perubahan itu semakin deras, menggregoti setiap sendi kehidupan, dari kota kecil hingga ke kampung, seiring araus migrasi manusia, bertambahnya penduduk yang datang melalui program transmigrasi, maupun mereka yang datang secara sukarela, memburu emas di hutan belantara Nabire.Kehadiran mereka telah membawa warna baru dalam kehidupan suku-suku asli di wilayah Me pago.
Kehadiran mereka dengan model pertanian yang berbeda, tentu telah mempengaruhi perubahan pola produksi dan produk pertanian, yang berimbas kepada pola konsumsi warga. Apakah saat ini, masih bisa kita jumpai singkong dalam jumlah yang besar di pasar?Apakah julukan Kota Singkong untuk Nabire itu, masih relevan hari ini? Pertanyaan-pertanyaan itu mengamuk di kepala saya, sejak mendarat tadi hingga tiba di Hotel Mahavira, tempat saya akan menginap semalam di Nabire.
Tak lama, ketika tiba di hotel, saya bergegas mandi dan ingin menelusuri kota Nabire dengan tujuan utama saya adalah mengunjungi pasar Oyehe. Pasar utama yang ada di kota Nabire. Matahari cukup terik, di jalan raya pegawai dan anak sekolah berseragam berjalan menyusuri tepi jalan utama kota Nabire. Dari arah depan para SMP dan SMA juga berjalan hendak pulang ke rumah mereka. Nampaknya tak jauh dari tempat penginapan saya, terdapat sebuah SMP dan SMA Yapis Nabire. Saya berjalan melewati Jalan itu, dan memandang geduang sekolah SMP dan SMA Yapis, tempat belajar anak-anak tadi, yang terletak dalam satu areal. Gedung sekolah itu masih semi permanen. Beberapa bagian dari gedung itu telah menggunakan dinding betong, namun beberapa bagian lagi masih menggunakan papan. Akan tetapi, bangunan gedung dengan model sperti itu juga saya jumpai pada beberapa kantor pemerintahan, yang saya lalui sepanjang jalan utama.
Saya berjalan melaui trotoar, melewati berbagai kantor pemerintahan, sebuah bangunan masjid yang cukup besar, Gereja Advent, Kantor Bupati. Susana saat ini memang sedang dalam penyambutan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 72 tahun tanggal 17 Agustus 2017. Setelah berjalan sekitar dua kilomete, akhirnya tiba di pasar Oyehe dan juga terminal Oyehe.
Pintu gerbang terminal dan pasar itu sudah rusak. Dari luar kelihatan di dalamnya ada beberapa mobil angkutan kota yangs sedang parkir. Di depan terminal, di belakang trotoar, orang asli (mama-mama) sedang memamerkan jualan kerajinan noken mereka. Kreasi noken mereka itu, mereka gantungkan pada sebuah kayu yang dibentangkan di atas dua buah potongan kayu. Karya kreasi mereka cukup beragam dan unik. Saya tidak sempat menanyakan beberapa harga noken kreasi mereka itu. Bukan kerena tidak ingin bertanya, namun tidak sampai hati untuk menanyakannya, namun tidak membelinya. Padahal mereka sedang berharap agar saya membeli noken kreasi mereka itu.
Saya berjalan kembali menuju gerbang terminal dan pasar Oyehe. Ketika tiba di dalam, di depan terminal itu, di atas aspal warga lokal berjualan hasil kebun apa adanya. Hanya ada beberapa warga lokal menggelar jualan hasil kebun mereka. mereka Tidak banyak warga yang berjualan demkian juga dengan hasil kebun seperti singkong yang menjadi julukan kota ini. Di pasar itu justru saya menemukan warga non Papua yang berjualan pinang dan sirih, dan besarnya jualan mereka melebihi jumlah yang dijual warga asli. Di dalam pasar hanya ada warga Bugis- Makasar yang berjualan barang berupa pakaian jadi dan perlengkapan rumah tangga lainnya.

Suasan Siang di Pasar/Terminal Oyehe, Nabire
Entahlah, mungkin waktu yang kurang tepat ketika saya berkunjung ke pasar Oyehe, sehingga saya tidak menemukan warga asli berjualan singkong? Mungkin mereka telah pulang membawa dagangan mereka, karena hari sudah hampir sore? Ataukah memang seperti inilah gambaran pasar Oyehe, dengan warganya yang telah beralih dari tradisi Singkong, menjadi pendulang emas dan petani jeruk manis.