CATATAN PERJALANAN HARI KE EMPAT ** Pasar Rakyat dan Terminal Penumpang Kokas. Pagi hari di lobi belakang rumah, mengamati suasana pagi yang teduh dan orang-orang di lobi belakang rumah yang sedang sibuk di dapur. Di sini rumah saling berhadap-hadapan sepanjang jalan, ada pula yang jauh di belakang dari jalan namun menghadap ke laut. Masyarakat di sini kebanyakan telah memiliki rumah permanen atau semi permanen. Umumnya rumah-rumah yang membelakangi laut memiliki dua hingga tiga lokal bangunan. Bangunan pertama adalah rumah utama, bangunan kedua dan ketiga adalah dapur dan lobi tempat santai dan parkiran perahu. Hanya saja toilet mereka masih belum baik, mereka masih membuang hajat langsung ke dalam laut, dan sangat mengkhawatirkan adalah anak-anak mereka yang sering berenang di belakang rumah.
Apapun itu, bagi ini benar-benar tenang. Beberapa saat kemudian kawan-kawan yang lain pun datang dan bergabung duduk di lobi belakang rumah. Kami akhirnya bersepakat untuk merefleksikan perjalanan riset kami, sejak kemarin. Pak Ahmad memimpin rapat kilat kami. Akhir dari situ kami juga bersepakat untuk pergi ke pasar rakyat dan terminal penumpang sambil membeli ikan di sana. Memang saya juga telah berencana ke sana, namun baru pagi hari ini bisa memiliki kesempatan yang baik, berhubungan rencana keberangkatan ke Patitpi pagi ini harus tertunda hingga besok, karena belum menemukan kendaraan yang bisa mengantarkan kami ke sana. Rencananya kami akan melewati darat, namun Nurdin, suadara Parto yang bisa mengantarkan kami belum bisa. Usai menikmati kopi hitam dan dua potong pisang goreng, kami kemudian keluar pintu rumah dan berjalan haluan pasar di sebelah timur kampung sekar. Matahari sudah cukup panas, sudah hampir jam 09 pagi. Rupanya, Syarif, Hidayat dan Yusuf memiliki rencana lain, mereka telah memiliki janji dengan salah satu nara sumber (tetua) di kampung ini jam sembilan, hingga mereka tidak bisa bersama kami ke pasar.
[irp posts=”3457″ name=”Misteri Tapak Tangan Berdarah & Kuburan Putri Duyung”]
[irp posts=”3450″ name=”Bergaya di Dermaga Saat Kapal Bersandar”]
Pasar Rakyat dan Terminal Penumpang Kokas
Di jalan menuju pasar dan terminal penumpang pagi itu cukup ramai untuk ukuran Kampung. Kendaraan roda dua dan empat beberapa melewati kami, juga ada warga yang berlalu lalang. Tidak hanya manusia, ada sekitar lima ekor ayam, dan empat ekor kambing yang juga berada di tepi jalan. Di atas bukit, tidak terlalu jauh, nampak empat ekor sapi sedang berdiri. Warga di sini memang selain melaut, mereka juga memelihara ternak, namun ternak mereka terlepas bebas. Ketika air surut seperti kemarin, ada banyak sapi yang berkeliaran di bawah kolong-kolong rumah warga, memakan sisa-sisa makanan yang tertinggal di atas lumpur laut. Rupanya sapi juga sangat menikmati rasa asin.
Hanya butuh kurang dari lima menit, kami tiba di pasar tradisional rakyat dan terminal penumpang. Pada bagian sebelah Barat (sebelah daratan) di depannya ada sebuah kios kecil yang dijaga oleh seorang warga lokal. Nampaknya kios itu miliknya. Di dalam pasar, ada banyak warga berjualan, kebanyakan adalah ibu-ibu. Namun jualan mereka tidak beragam, dari jenis buah, saya hanya menemui warga menjual jambu, pisang dan kedondong. Sayur mayur, hanya ada sayur kangkung, daun singkong dan bunga pepaya. Ada pula yang menjual keladi dan singkong, ikan asing, pinang, kapur dan sirih, ada pula masyarakat yang menjual pakaian jadi (nampaknya bukan masyarakat asli setempat). Memang pasar ini kecil, hanya bisa menampung sekitar 50 penjual. Saya kemudian berjalan di tengah pasar hingga ke ujung pasar bagian Timur di sebelah laut, tempat penjulan ikan. Namun, tidak ada satupun warga yang menjual ikan di sana. Saya kemudian bertanya kepada seseorang di situ, ia berkata bahwa ‘ tunggu saja, nanti ada orang kampung yang bawa ikan ke sini”. Saya dan juga Pak Ahmad dan Parto pun duduk santai sambil memotret aktifitas pasar dengan menggunakan handphone kamera kami.
Di terminal ada enam buah mobil angkutan kota dan empat buah sepeda motor (ojek) sedang parkir. Namun, penumpang sangat jarang bahkan saya tidak melihat sebuah mobil angkot (angkutan kota) sarat dengan penumpang ke kota Fakfak. Mungkin mereka jarang ke kota karena ongkos transportasi dari Kokas ke Kota cukup mahal, dimana satu orang dikenakan Rp.30.000? atau mungkin karena bukan musim buah, atau mungkin karena bukan waktunya libur? Demikian juga dengan motor ojek yang parkir di terminal, namun saya tidak sempat bertanya soal harga jika menggunakan jasa ojek. Kemungkinan lebih mahal. Di pasar itu kami bertemu dengan Ibu tentara, rumah tempat kami menginap. Ia sedang memegang satu ikat sayur kangkung dalam kantung plastik. Ia lalu mengatakan bahwa, dulunya meja di tengah sana, sambil ia menunjuk dengan tangannya dengan sedikit was-was, di meja sana tempat saya menjual kue, dan nasi kuning. Jualan saya selalu laris lebih awal, “masih pagi saja sudah habis” kata ibu itu, tapi satu hari saya jualan, trus pulang, leher saya bengkak besar, saya berhenti jualan di situ,” biar sudah” Kata beliau. Nampaknya, di sini memang warga masih sangat kental dengan black magic atau guna-guna atau menyakiti orang lain dengan ilmu hitam.
Kami masih terus menunggu orang kampung seberang yang datang membawa ikan jualan. Ada beberapa perahu yang masuk dan keluar, namun tidak satupun yang membawa ikan jualan. “ Kitong tunggu sedikit lagi” kata Ibu, tuan rumah kami. Iya benar, beberapa saat kemudian, datang sebuah perahu, dan parkir di dekat jembatan yang hampir roboh (tidak bisa digunakan lagi), warga di pasar itupun ramai-ramai menuju perahu itu, hingga ada yang nekat naik ke jembatan yang sudah goyang, tinggal menunggu roboh. Di dalam perahu itu kelihatan ada beberapa ekor ikan. Tidak banyak, hingga kami khawatir kami tidak kebagian. Saya ingin sekali naik ke jembatan itu dan masuk ke dalam perahu penjual ikan itu, namun tak bisa saya melewati sepotong kayu, rapuh bergoyang itu, untuk naik ke perahu. Ibu, tuan rumah kami pun langsung menggunakan bahasa dan berbicara dengan penjual ikan itu. Alhasil, kami mendapatkan hampir seluruh ikan yang ada dalam perahu itu. Dua ekor ikan bobara sedang, tujuh ekor ikan kakap merah dan tujuh ekor ikan bobara kecil, berhasil kami dapat dengan harga Rp.110.000. Ini harga ikan yang super murah, jika saya bandingkan jenis ikan yang sama di tempat saya di Jayapura, ikan sebanyak itu harganya berkisar Rp. 600 hingga 700 ribu. Lega rasanya memperoleh ikan sebanyak itu, dengan harga super murah. Perjalanan kami ke pasar pagi ini, berhasil. Pak Ahmad dan Parto memegang ikan-ikan itu dan meminta saya untuk memotret mereka. Kami pun berjalan kembali ke rumah, melewati jalan yang sama, sebab itu jalan utama dan satu-satunya menuju ke pasar dan terminal.
Usai kembali dari pasar dengan membawa beberapa ikan, saya langsung menuju ke rumah belakang, dan berinisiatif untuk memberishkan ikan di dapur. Saya mangambil pisau berukuran sedang dan mengasahnya beberapa saat hingga tajam. Saya mulai memberishkan sisik hingga perut ikan. Di anjungan /lobi belakang rumah juga telah disediakan beberapa drum untuk menampung air hujan dari atap rumah, dan nampak di dekat saya ada tiga buah drum yang masih berisi air meski tidak penuh. Air di bawah kolong kering, meninggalkan lumpur, dan saya hanya membuang sisa ikan di bawah kolom rumah. Jika tidak ada tikus atau binatang lain yang memakannya, saat air penuh akan menjadi makanan ikan-ikan yang masuk ke bawah kolom rumah. Saya tidak tahu persis di mana masyarakat di sini membuang sampah rumah tangga mereka, namun dugaan saya mereka membuangnya ke laut saat air sedang pasang.
Mancing Malam di Dermaga Kokas
Ketika saya sedang membersihkan ikan, saya melihat Ibu tentara (tuan rumah) sedang memotong sayur yang baru juga dibeli di pasar tadi. Rasanya memang sudah lapar, namun masih harus bersabar sebentar. Saya kemudian berpikir untuk memancing sore ini, atau nanti malam di dermaga. Saya penasaran dengan ketika melihat ikan bermain ramai di dermaga dua hari lalu. Ide memancing itu kemudian diiyakan oleh Parto dan teman-teman yang lain. Sambil memikirkan ide mancing, makan siang kami telah tersedia dan siap untuk disantap. Kami bersama-sama menuju meja makan dan menuntaskan rasa lapar kami dengan beberapa potong ikan segar yang baru saja di goreng dan juga dibakar. Wah, nikmat sekali rasanya.
Usai makan siang, sudah hampir jam dua siang, saya melihat teman-teman sudah kekenyangan dan ingin mencari tempat santai, jika bisa tidur sebentar itu lebih baik. Saya kembali mengambil laptop saya dan menuliskan lagi beberapa paragraf tentang pasar dan terminal penumpang Kokas. Namun, rasa ngantuk tak tertahankan hingga saya harus mematikan laptop dan tidur di lantai ruang depan, dimana Yusuf, dan pak Ahmad sedang tidur.
Ketika terbangun, sudah hampir setengah empat sore, saya berjalan menuju ke anjungan belakang, di sana ada Parto yang duduk sambil menikmati kopi. Saya mengajak dia untuk ke pasar membeli tali pancing. Kami berdua kemudian berjalan ke arah Timur, menuju pasar, Syarif juga turut bersama kami, dengan kamera yang tergantung di lehernya. Hari sudah sore dan suasananya adem sekali, sambil berjalan Syarif terus memotret. Ketika tiba di terminal sore itu, sudah tak ada lagi mobil angkutan kota, juga sepeda motor ojek yang parkir di sana. Pasar sudah tidak ada lagi orang yang berjualan. Namun, di ujung, (dekat pintu masuk terminal) sebuah kios kecil masih buka. Di halaman parkir terminal ada sekelompok anak kecil yang sedang bermain sepak bola. Terkadang bola mereka tersepak hingga turun ke laut, dan mereka harus berusaha mengambilnya. Saya mengamati mereka, dan dan saya melihat ada satu anak yang memang memiliki bakat sepak bola, cara dia memainkan boleh di kakinya asyik di tonton.
Meski pasar sudah tak ada lagi orang yang bejualan, kami beruntung karena di sana tersedia tali pancing dan juga kailnya. Kami membeli 10 kepala (hitungan versi masyarakat lokal, dimana 1 kepala sekitar 10 meter) dan mata kail 5 buah, 2 buah ukuran sedang dan 3 buah lagi ukuran kecil.
Saya dan Parto berjalan kembali ke rumah dengan membawa tali pancing dan kail. Sambil berjalan kami masih berpikir dimana kami bisa menemukan umpan untuk mancing, dan ketika di jalan, kami melihat di depan rumah warga sedang menjual beberapa ekor ikan bobara segar, tentunya baru datang dari laut. Lumayan banyak ikan yang dipajang dengan harga berkisar 15 ribu untuk ikan bobara berukuran sedang, dan 30 ribu untuk bobara dengan ukuran besar. Kami masih punya ikan di rumah, yang dibeli tadi pagi, sehingga saya hanya membeli satu ekor bobara kecil, untuk dijadikan umpan mancing sebentar di dermaga. Ketika tiba di rumah, kami mulai membuat tali pancing. Anak muda, yang pernah menjadi driver kami, membantu kami mengurai tali pancing kami dan memasangnya pada botol bekas air mineral yang saya pungut di tepi jalan. Tali pancing saya sudah jadi, namun belum ada pemberat, sehingga saya harus mencari pemberat, biasaya menggunakan timah, namun alternatif lain adalah menggunakan batu atau paku. saya kemudian mencari batu kerikil yang di jalan, dan menemukan sebuah batu yang memiliki lubang untuk memasukan tali pancing. Saya mematahkannya dan mengasahnya dengan batu asah bagian yang tajam agar nantinya tidak memutuskan tali pancing, sedangkan Parto saya melihat di menggunakan paku yang dibengkokkan lalu diikat pada tali pancing. Saya mengambil pisau dan memotong ikan bobara tadi, membuat ukuran kecil-kecil seperti dadu.
Hari sudah mulai malam, adzan maghrib sudah dikumandangkan, kami akan berangkat ke dermaga beberapa saat lagi usai maghrib. Setelah maghrib, “ ayo kita jalan” kata Parto. Kami pun berjalan menuju dermaga. Parto berjalan duluan, bersama anak mudah bekas driver kami. Saya menyusul, dan singgah sebentar di toko untuk membeli rokok, air minum, dan kail, sebab saya khawatir jika nanti putus tersambar ikan atau terkait dengan karang. Saya berjalan memasuki dermaga. Dermaga cukup sepi, tidak ada orang hanya ada Parto dan anak mudah itu, ada sebuah kapal LCT landing, yang parkir di samping kiri dermaga, dan beberapa rakit milik perusahaan yang juga parkir berdekatan di sana.
Parto mengambil posisi di tengah dermaga dan sudah melempar tali pancing, merapat dan mengambil umpan di dalam plastik hitam. Air laut tenang sekali, semakin pasang dengan arus air yang juga kencang. Dalam benak saya, ini tanda-tanda akan banyak ikan di bawah laut, dan kami pasti akan mendapatkan banyak ikan. Saya berjalan menuju ujung dermaga sebelah kanan, memasang umpan dan melempar kail ke laut. Hal yang sering ditunggu-tunggu ketika mancing bersama adalah siapa yang lebih duluan duluan menarik ikan. Setelah menunggu beberapa saat, tali pancing saya ditarik ikan, namun sepertinya hanya ikan-ikan kecil. Sudah dua kali saya mengganti umpan, namun belum ada tanda-tanda ikan besar memakan umpan saya. Di bagian tengah dermaga, nampaknya Parto sedang menarik ikan yang menggigit pancingnya, saya pun merasa tertantang, namun ternyata seekor kepiting yang memakan tali pancingnya, wah agak lucu juga, pasalnya aksinya membuat saya jadi menduga pasti ikannya cukup besar.
Kail saya terus disambar namun, hanya ikan-ikan kecil. Di dermaga sebelah darat, nampak Pak Ahmad, Yusuf, Hidayat, Syarif dan beberapa anak kecil muncul juga di dermaga, mereka mambawa plastik yang kelihatan isinya air mineral. Saya melihat Parto menarik lagi kailnya, nampaknya ia berhasil mendapatkan seekor ikan. Ia berhasil menaikan satu ekor ikan kecil ( kata orang lokal adalah ikan poro bibi), dan sungguh berbisa. Jika durinya mengena anggota badan kita, pasti akan menangis semalaman, sakit sekali durinya. Sungguh, Parto pasti kecewa, sebab itu bukan ikan yang ia harapkan, namun sebetulnya Ia masih lebih beruntung, sebab saya belum dapat satu ekor juga. Padahal dari atas dermaga, kami bisa melihat ikan yang terapung di atas permukaan air laut kerena adanya cahaya lampu yang memantul ke air, terutama ikan cumi. Di bawah jembatan ada juga ikan besar yang menyambar ikan-ikan kecil yang berenang memutar di bawah tiang-tiang dermaga.
Sudah cukup lama saya memancing namun, tak satupun juga mendapat tarikan yang serius. Saya jadi malas, dan memberikan tali pancing saya kepada Hidayat untuk lanjut memancing. Saya menarik rokok, dan hanya mengamati gerombolan ikan-ikan kecil yang bermain di bawah sinar lampu dermaga. Hujan rintik sudah turun, dan itu artinya kami harus segara pulang. Rasanya juga sudah cukup lapar. kami harus pulang dengan kecewa, tak mendapat satu ekor ika. Pak Ahmad kemudian menertwakan kami, karena kami telah membuang satu ekor ikan bobara sedang, yang seharusnya sudah digoreng dan dimakan. Ha ha ha ha… Okelah, suatu saat nanti kami pasti akan dapat ikan yang banyak. Ketika berjalan beramai-ramai ke rumah, dan langsung menuju meja makan, dan menyantap makan malam. Usai makan malam, teman-teman pun kembali disibukan dengan catatan harian mereka, semua kembali membuka laptop masing-masing, dan mengurai kembali cerita mereka yang tersisa. Saya juga mengambil laptop saya, dan berjalan menuju ke anjungan/lobi belakang rumah, mamandangi laut yang teduh, bintang-bintang di langit, dan bulan yang malu mengintip ke bumi. Saya lanjut menuliskan cerita tersisa hari ini, hingga rasa ngantuk datang dan tertidur sebentar, lalu dibangunkan oleh hujan rintik.